Akhirnya menikah juga....
![]() |
Foto Penulis bersama Istri |
Pada tahun 2017 saya tuliskan sebuah pengalaman pribadi bertunangan di era millenial. Kali ini, terkabul sudah do'a dalam konten cerita pengalaman tersebut. Yakni dikabulkannya menjadi sepasang kekasih yang diridhoi Allah. Aamiiin. Usai sudah kekhawatiran dalam hati. Kekhawatiran ditekan keluarga untuk harus bertemu dan berboncengan. Kekhawatiran berkhalwat (bertemu berdua-duaan) karena batin sudah tak mampu menahan rindu dan nafsu.
Baca juga: Pengalaman Pribadi Tunangan di Era MillenialKini, telah dilangsungkan akad pada tanggal 22 Desember 2018 lalu. Ibarat kapal yang lapuk diterjang ombak. Bocor papannya, patah tiang dan robek benderanya. Setir kapal telah goyah, dibawa arus kanan kiri. Pada akhirnya, sampai jua di titik dimana kapal harus berhenti berlayar, kapal harus dibenah total, dan ditambah perhiasan di dalamnya. Sehingga pelayaran selanjutnya ada pendamping pengemudi kapal.
Kini hati tak lagi berharap pada makhluk, tapi pada Allah Swt semata. Hanya kata puji dan syukur terpanjat dari bibir ini. Menghayati hembusan nafas demi nafas. Dan menyempurnakan separuh agama yang lama tak kunjung datang.
Saat Prosesi akad
Jantung berdebar, darah naik turun, kadang lemas kadang kuat. Peluh keringat mengucur di seluruh tubuh. Hilang kata motivasi kawan "semua keteganganmu akan berakhir 5 menit saja kawan" atau "semua akan indah pada waktunya" bulshit dengan omongan kawan. Bukan maen rasanya. Ini tidak seindah dan semudah yang saya kira dulu. Ada 300 orang yang tak saya kenal, seolah-olah menantikan kesalahan saya mengucap kalimat akad, jika benar maka hanya satu kata yang terlontar di bibir 300 orang itu "sah". Tapi, kalau salah ada 300 kalimat yang berbeda akan menghujam di telinga saya. Aliran darah ke jantung meningkat tajam 200%, 2 kali lipat dari biasanya. Padahal, untuk menyebutkan kalimat akad hanya membutuhkan kurang lebih 1 menit saja.Tak hanya saya yang gemetar rahang dan tulang kaki. Tapi, teman dekat saya juga gelisah. Begitupun sanak saudara saya pun ikut gemetar. Takut-takut saya salah mengucapkannya. Bisa hilang martabat keluarga, jikalau saya salah mengucapkannya. Keluarga dengan penyumbang laki-laki terbanyak di desa saya. Dan sebanyak laki-laki itu tak ada yang gagal atau salah mengucap kalimat akad. Terpandang dari segi agamanya, terhormat dari segi pekerjaannya. Berat kali, hidup yang saya pikul. Karena memangkul martabat keluarga yang akan hilang sekejap mata jikalau saya tak benar mengucap kalimatnya.
Tiba, waktunya... sanak keluarga mempersiapkan segala sesuatunya dari rumah. Mulai perlengkapan seserahan, mahar dan transportasinya, telah siap mendampingi saya sebagai calon mempelai. Keringat tetap mengucur, walau angin yang masuk dari mobil berhembus dengan kencang. Serasa ada bara api kekhawatiran dalam tubuh ini. 60 menit dalam perjalanan menuju tempat eksekusi. Tak lupa saya berdzikir kepada Allah, dan diselingi mengucap kalimat akad untuk dihafalkan. Selama di mobil, kencang suara saya melafalkan kalimat tersebut, tanpa nafas, padat dan jelas. Rasanya saya bisa melewati semua itu.
60 menit berlalu, sampai sudah pada tempat acara eksekusi. Bagai tahanan yang akan ditembaki, lunglai kaki tangan tak berdaya. Putus asa, lagi tak percaya diri. Hilang hafalan saya. 30 menit ke depan saya akan menghadapi 300 orang tak dikenal. Lalu, mengucapkan kalimat akad. Sesampainya di rumah calon istri saya. Saya disuruh calon mertua masuk ke dalam rumah, karna acara masih kurang 30 menit lagi. Berehat sejenak, menegakkan kaki dan tangan yang lunglai tak berdaya. Diberinya saya makanan dan minuman. Tak saya sentuh sedikitpun makanan dan minuman itu. Tak terbayang rasa haus dan lapar, walau sehari tak makan. Terbenak yang ada difikiran hanyalah hafalan kalimat akad tersebut.
30 menit berlalu, saya rasa cukup sudah istirahatnya. Tegak sudah kaki dan tangan saya, walau tegaknya tak 100%. Saya diseru keluar dari rumah, dan pergi ke masjid. Ternyata, dalam acara tersebut, mempelai laki-laki berangkat dari arah masjid, lalu diiringi lagu yang bagi saya tak jelas irama dan suaranya. Berangkat sudah saya dari arah masjid. Selangkah demi selangkah saya berjalan menuju tempat eksekusi.
Berjalan di tengah-tengah 300 lebih orang menuju meja eksekusi. Terlihat dari pintu masuk, telah lengkap menuggu, ayah mertua, penghulu, dan saksi keluarga dua belah pihak mempelai. Disediakannya kursi untuk saya duduk menghadap mertua. Duduk saya terlihat tenang, sayu, dan santai. Tapi, sebenarnya jantung dan hati gelisah. Memikirkan kalimat hafalan yang selalu hilang ketika melihat orang sekitar.
Setelah berselang lama, kalimat khutbah nikah telah terucap oleh penghulu. Maka bersiap sedia mertua, menjabat tangan saya yang dingin serta gemetar. Saya lihat ayah mertua seperti raja yang akan memberikan tahta kepada saya, memberikan beban di pundak saya yang selama ini ayah mertua memikulnya. Yakni serah terima tanggung jawab atas anaknya kepada saya, calon suaminya.
Sigap, tegap, duduk saya. Fokus mendengar ucapan ayah mertua. Dengan hentakan tangan beliau, berarti usai sudah ucapannya, lalu saya jawab dengan jelas, padat, dan cepat "Qobiltu Nikahahe Watazwijahe Bilmahril Madzkuri Halan"... lalu, penghulu bertanya kepada saksi "bagaimana sudah sah?" Kata saksi inti berdua "sah, sah." Diikuti 300 saksi undangan. Sah, sah, sah... dilanjutkan doa nikah oleh Kiyai yang sudah tak sabar mendoakan kami sepasang kekasih yang baru diridhoi Allah swt.
Alhamdulillah.... usai sudah ketakutan saya. Seperti hewan yang keluar dari sangkarnya. Lega, bebas, dan tanpa beban, juga bercampur rasa haru dan bahagia pada hati. Tapi, kondisi masih bingung dan bimbang, tersisa kaki dan tangan yang gemetar. Kondisi pada waktu itu mengangkat tanganpun seolah tak mampu, bergetar jari-jari tak bisa dikontrol. Inilah pernikahan. Bertahun tahun hanya berada pada bayangan. Kini, menjadi kenyataan. Bukan meraih impian, tapi meraih kesempurnaan dalam hidup.
Tips Menghadapi Acara Akad
Memang tak mudah mengucap akad. Tak seperti presentasi sidang S1. Atau tak seperti berceramah di depan umum. Akad adalah acara yang paling menegangkan dari semua acara di muka bumi ini. Tak ada yang paling dikhawatirkan oleh seorang laki-laki selain acara akad. Malu bukan perkara mahar yang akan disebutkan. Tapi, ini perkara sesuatu yang diputuskan. Yakni memutuskan gelar jomblo, dan memutuskan untuk bertanggungjawab sepenuhnya atas hidup orang lain (istri).
Acara akad ini lebih menegangkan dari sidang skripsi, thesis, maupun disertasi. Karna menurut saya ketiganya bisa direvisi beberapa kali untuk sempurna. Tapi, untuk acara akad tak ada kata revisi. Perihalnya, kalimat yang akan diucapkan bukanlah satu paragraf, tapi hanya satu kalimat. Malu lah kalau kita merevisi satu kalimat tersebut di muka umum.
Nah, ada cara atau tips yang bisa diambil dari pengalaman saya. Adapun acaranya adalah sebagai berikut.
1. Fokus
Fokus itu penting. Jadi, pada waktu acara buatlah diri kita fokus. Artinya tidak ada yang dipikirkan lagi selain kalimat akad tersebut. Kita tidak boleh menghawatirkan sesuatu, seperti menghawatirkan undangan yang tidak kita kenal, keluarga yang hadir, dan kekhawatiran lainnya. Karna yang kita hadapi sebagai mempelai laki-laki adalah ayah mertua atau walinya. Bukan undangan, keluarga, dan lain lainnya.
2. Tenang
Bersikap tenang itu wajib. Cara menenangkan diri kita adalah dengan mengambil nafas se dalam dalamnya dari hidung dan hembuskan nafas kita melewati mulut. Seterusnya lakukanlah seperti itu, sampai diri kita merasa tenang.
3. Percaya diri
Percaya diri, anggaplah semua ini mudah bagi kita. Percayalah pada diri sendiri, bahwa semua bisa dilakukan. Dan berpikirlah bahwa ini harus secepatnya berakhir. Allah bersama kita.
4. Berdoa
Berdoa harusnya dilakukan pertama kali. Saya pada waktu itu selalu berdoa agar dimudahkan dan dilancarkan lisan untuk mengucap kalimat akad. Tak lupa, kita harus yakin bahwa doa itu terkabulkan.
Itulah beberapa tips dari saya yang berpengalaman mengucap akad di kerumunan 300 orang undangan dan 30 sanak saudara. Semoga pengalaman ini bermanfaat.... Aamiin...
0 Response to "Menikah di Era Millenial"
Post a Comment