Cerpen; Damai

Damai

Minggu, 31 Juli 2016
Irel Mallabi

Damai


Masa kini, adalah masa dimana maraknya perselisihan umat beragama. Tidak hanya antar agama dengan agama, tapi di dalam agamanya terjadi perselisihan, yaitu golongan dengan golongan. Di tengah-tengah itulah, bersemi bunga-bunga kedamaian, berkobar api kerinduan, dan menghujani air keselamatan, dialah mereka sepasang insan yang saling mencintai Kejora dan Syamsyiah. Kejora adalah anak dari golongan agama islam kontemporer, dan Syamsyiah adalah anak dari golongan agama islam Tradisional. Diantara kedua golongan yang sulit dan tak kan pernah menyatu.
Di saat yang lain tengah sibuk mencari-cari kesalahan, mereka asik bersenda gurau lewat tulisan suratnya. Saling menghargai waktu, dan saling menghargai kenikmatan bertuhan, bukan berhantu. Kisah percintaan mereka tidak banyak yang mengetahui, masih sembunyi-sembunyi, kalau bahasa kerennya cinta monyet. Hanya ardi saja yang mengetahui cinta mereka. Cinta tanpa adanya pertemuan, cinta tanpa adanya perzinahan, dan cinta layaknya Qais dan Laila di negara timur tengah sana, yang hanya dapat memandangi rumahnya saja.
Hati mereka dipenuhi butir salju cinta, mereka memiliki kedamaian, ketenangan, dan ketentraman dalam jiwanya, yang tak mudah tergoyahkan meski badai menghempasnya. Di tengah-tengah perselisihan itu, mereka memikirkan bagaimana caranya hubungan mereka direstui oleh kedua orang tua.
“dari: Kejora
 Untuk: Syamsyiah
Daku hidangkan keresahan ini pada jiwa yang saat ini terbatas. Sama-sama terbatas, bukan berarti hilang asa, tapi tumbuh seribu asa yang menjelma perilaku dalam canda tawa. Syamsyiah, tak ada cara yang dapat mempersatukan kita saat ini, kecuali bersujud padaNya.” surat yang dikirim Kejora kepada Syamsyiah lewat sepupunya, Ardi.
Meskipun tak pernah bertemu, kedua insan ini tak pernah henti-hentinya mengadu nasib pada secarik kertas, bahwa mereka mengalami kesulitan yang sama. Mereka berdua benar terbatas dalam sapa menyapa, keduanya seperti kura-kura yang keluar masuk ke dalam air dan daratan secara sembunyi-sembunyi.
Angin berhembus kencang, suasana pun semakin menegang diantara golongan tersebut. Cinta Syamsyiah dan Kejora tak pernah lekang sedikit pun. Perseteruan diantara golongan semakin panas. Namun, cinta Syamsyiah dengan Kejora pun semakin menyala-nyala. Setiap hari Kejora dan Syamsyiah mendapatkan maklumat dari orang tuanya, mendoktrin keduanya agar tak saling bertemu dengan golongan lainnya selain golongan mereka. Namun, maklumat tersebut dianggapnya tulisan dalam pasir pantai, yang tak lama kemudian hilang, terhapus, terhempas ombak cinta Kejora.
  “dari  : Syamsyiah
    Untuk: Kejora
Daku resah, gelisah, tanpa arah duhai Kejora. Tiap hari orang tuaku menyuruhku untuk menjauhimu dan keluargamu. Tak usah aku diseru untuk menjauhimu, menjauhi tanah yang pernah kau pijak aku pun tak mampu. Saat ini langit memang terasa gelap gulita, hilang asaku ditelan perseteruan ini. Aku gusar, menggurutu dalam jiwa. Akankah kita akan menyatu?”
Pesan itu menjadi saksi lara jiwa Syamsyiah yang tak tahan tiap hari mendengar maklumat dari orang tuanya. Sesampainya surat itu kepada Kejora, kejora dengan tersenyum membaca surat itu, dan menuliskan pada secarik kertas, membalas pesan dari Syamsyiah.
“dari: Kejora
 Untuk: Syamsyiah
Syamsyiahku, yang sinarnya dapat menembus jiwa ini, menerangkan jalan ibadahku. Bukan hanya engkau yang menerima maklumat itu. Tapi aku pun juga mendapatkannya. Jangan takut mendengar maklumat itu. Kita ini layaknya pohon pine di jepang yokohama.  Cinta kita akan tetap terjaga, cinta kita akan tetap tumbuh, walau diterpa bencana. Kita akan tetap abadi bersamaNya. Ingat para pendahulu kita tuan Qais dan nyonya Laila, yang mejaga keutuhan cintanya. Tak goyah meski orang tua menghalanginya. Mereka abadi bersamaNya.”
Membaca surat itu, Syamsyiah tersenyum semringah. “apa daya diriku ini Kejora, aku hanyalah makhluk yang sedang kebingungan, ketakutan akan jauh darimu. Tapi, darimu aku tau, bahwa cinta ini tak cukup di dunia ini” ujar Syamsyiah dengan hati lega.
Hari terus berganti, percintaan mereka semakin mengarah ke ujung tanduk. Nampaknya, orang tua mereka mengetahui gerak gerik hubungan mereka. Hingga suatu saat, orang tua Syamsyiah menyelidiki kepokannya ardi itu, yang tiap minggu mendatangi Syamsyiah.
“Nak ardi, disini dulu... duduk dengan paman, paman mau bertanya sama kamu.”
“iya paman, sebentar! Ardi mau ke Syamsyiah dulu.”
“apa itu yang di tanganmu, kesini dulu”
“anu paman, tidak ada, hanya amplop kosong saja.”
“kesini dulu, paman ingin tau..!”
Akhirnya Ardi tak bisa mengelak. Ardi pun tertunduk lesu. Surat cinta Kejora dibaca oleh ayah Syamsyiah. Seusai membacanya, ayah Syamsyiah geram, menggigit gigit bibirnya. Tak disangka, ternyata anaknya menjalin hubungan dengan golongan yang lain. Sebab itulah, ayah Syamsyiah menjaga dan mengurung Syamsyiah di kamarnya, dan tak ada yang boleh masuk ke kamarnya. Ayah Syamsyiah memperketat penjagaan dengan 2 pengawal di rumahnya.
Mendengar laporan itu dari Ardi, Kejora hanya tersenyum. Seraya berujar “Benar, benar, Engkau tak menginginkan cintaku ini jadi fana. Ardi, trimakasih selama ini engkau telah membantuku untuk berhubungan dengan Syamsyiah, maafkan aku telah merepotkanmu”
“Kejora, maafkan aku juga... aku tak bisa menjadi tempat penghubung antara Syamsyiah denganmu”
“tak apa. . . Dia telah menakdirkan semua ini. Dia ingin aku dengan Syamsyiah abadi disana, bukan disini.”
            Setelah itu, Kejora dan Syamsyiah tak pernah berhubungan kembali. Kejora sudah tak bisa mengirimkan surat pada Syamsyiah. Begitupun Syamyiah, yang hanya dapat memandangi tulisan surat dari Kejora.
Setahun lamanya, mereka tak pernah berkomunikasi. Dan setahun itu pun cinta mereka tetap teguh. Mereka berdua sepakat tak ingin mencintai yang lainnya.
Setahun itu pula Kejora menulis, dan mengutarakan perasaannya dengan bersyair.
“Secarik kertas dan goresan tinta ini
Tanda matinya malu ini
Dan kunang-kunang di depan jendela
Menghibur bunga yang kehilangan cahaya

Rumput dan bunga liar bersenda gurau

Lihat lah gerimis hujan tanpa batas
Membasahi daun kuning kering itu
Dan harapan pada secarik kertas ini
Ada takdir yang berubah
Meski itu luput dari pandangan mereka”
Waktu pun berlalu, mereka berdua sudah menua. Namun, cinta mereka tetap setia. Tapi, pada waktu itu Kejora telah disandingkan oleh orang tuanya. Dipaksa untuk menikahi gadis yang sopan nan santun. Meski dengan berat hati, Kejora menikahi gadis itu. Gadis itu bernama Rembulan, yang setia menemani Kejora dalam duka.

0 Response to "Cerpen; Damai"

Post a Comment