Cerpen Rindu


Rindu...

Gambar Penulis yang Merindu

Minggu, 31 Juli 2016
Irel Mallabi



            “Langit kali ini tak bersahabat denganku” kata Kejora, sambil menunggu pujaan hatinya Syamsyiah keluar dari gerbang masjid itu. Kejora sangat mengagumi Syamsyiah semenjak ia masuk Sekolah Menengah Atas. Hidupnya penuh rindu bersama Syamsyiah, walau Syamsyiah tak menyadari bahwa Kejora menyukainya. Rindu yang dapat membuat orang tekun beribadah kepadaNya. Cinta Kejora layaknya air bening di sumber telaga, menyejukkan walau hanya dipandang saja. Begitulah kehidupan Kejora selama masa mudanya. Bertahan hidup atas nama cinta, dan matipun atas namaNya. Bertahun-tahun ia bersama Syamsyiah dalam ikatan pertemanan. Entah sejak kapan cinta itu mulai bersemi, Kejora pun tak pernah memahaminya. Dalam hatinya selalu terhiasi bunga-bunga bermekaran ketika bertemu dengan Syamsyiah. Semangat api berkobar-kobar ketika belajar dan bekerja bersama syamsyiah. Apalagi melihat ibadah Kejora yang tekun sekali. Kata orang “bukan Shalat Istikharah yang Kejora harus lakukan. Namun, shalat Tahajjud yang ia harus lakukan” untuk mendapatkan Syamsyiah, karena melihat perubahan prilaku pada Kejora yang semakin hari bertambah baik dalam kehidupan sosial atau pun agamanya. Melihat Syamsyiah, Kejora sepertihalnya melihat bidaddari jatuh dari surga, ia merasa dekat dengan Sang Pencipta.
            Syamsyiah terkenal sebagai gadis yang sholehah, ilmu agamanya yang sudah mumpuni, dan akhlaknya yang seperti Siti Khadijah. Itulah sebabnya, Kejora jatuh cinta kepada Syamsyiah, bukan hanya fisik saja yang dilihatnya. Namun, juga karakter yang dimiliki Syamsyiah, yang membuat Kejora memandanginya menjadi tekun dalam beribadah. “Oh, Syamsyiah, kau layaknya embun saat kemarau panjang. Daku melihatmu seperti melihat bulan dan bintang di dalam pekat malamku”
            Ketika setiap kali Kejora bertemu dengan Syamsyiah tercermin wajah lugu nan sopan diantara keduanya. Mereka saling bertatapan sekejap, lalu saling menundukkan kepalanya. Namun, diantara ke duanya tak ada yang berani mengatakan cinta. Walau sebenernya diantara kedua insan tersebut sedang tumbuh bunga-bunga cinta. “tak hanya pandanganku yang ku jaga, tapi hati ini juga ku jaga kesuciannya”.
Melihat hal itu, teman-temannya menyarankan untuk segera melamar Syamsyiah. Ketika itu, Kejora mulai berfikir bahwa usulan dari temannya sangat bagus. Akhirnya, Kejora mencoba merenungi hal tersebut. Sampai-sampai ia lupa makan dan minum. Maklum, Kejora adalah orang yang punya pendirian teguh. Jadi, ketika sudah memutuskan sesuatu, ia tak mugkin akan menariknya kembali. Alhasil Kejora sepakat dengan teman-temannya itu. Selang satu hari, akhirnya Kejora pun mengajak temannya untuk menamaninya melamar Syamsyiah. “Ar, ikut aku... aku sudah ingin melamar Syamsyiah. Ar, catat sejarah ini dalam pikiranmu. Kejora yang penakut akhirnya berani melamar seorang wanita sholehah” kata Kejora. Ardi hanya mengangguk saja.
Sesampainya di rumah Syamsyiah, tekad yang awalnya berkobar-kobar, kini mulai mengecil terhempas angin ujian. Kejora mendapat ujian yang pertamanya, Syamsyiah dan orang tuanya pada saat itu sedang tidak ada di rumah. “Allah... Alhamdulillah, tak semudah yang ku fikirkan. Allah merencanakan lain kepadaku. Untuk yang pertama ini aku gagal” kata Kejora menatap temannya sembari tersenyum.
Meski lamaran pertama yang gagal tak membuat padam semangat Kejora, malah kejora berfikir “untung saja tidak ada Syamsyiah dan orang tuanya” Kejora merasa persiapannya masih kurang. Sebelum itu, Kejora pernah mengikuti kajian rutin di Masjid yang biasa ia datangi untuk sholat dan ngaji. Ketika itu, isi kajiannya adalah mengenai bab nikah, dimana seseorang harus mempersiapkan 2 hal sebelum menikah yaitu, lahiriyah dan batiniyahnya. Teringat kajian itu, Kejora akhirnya memutuskan untuk mempersiapkan keduanya. Mempersiapkan lahiriyah seperti, kebutuhan hidup, dan batiniyah seperti ilmu tentang nikah.
6 bulan berlalu, akhirnya Kejora telah mempersiapkan keduanya itu. Kejora telah siap melamar untuk yang kedua kalinya dan pergi ke rumah Syamsyiah. “6 bulan berlalu, tak ada yang ku fikirkan selain Syamsyiah. Mendengarkan guru-guruku di pengajian aku berkhayal telah memilikimu, dan engkau tersenyum padaku, ketika aku mengingatkanmu sholat saat sibuk di dapur”. Begitulah perasaan yang menggebu di lubuk hati Kejora. Dengan tekad yang tak pernah padam itu Kejora berangkat ke rumah Syamsyiah.
Sesampainya di rumah Syamsyiah, kali ini nasibnya agak beruntung ia bertemu dengan Syamsyiah. Tapi, ketika ia masuk ke rumah Syamsyiah ternyata masih banyak tamu yang berdatangan, karena pada saat itu adalah hari lebaran. Sehingga, kesempatan untuk membahas lamar melamar tidak ia sampaikan. Ketika ditanya bapak Syamsyiah, Kejora hanya mengangguk, terdiam lesu, tak berani mengungkapkan isi hatinya yang sudah sedang dalam puncaknya ingin melamar Syamsyiah. Lalu, teman Kejora memberikan ide untuk menunggu tamunya sampai pulang. Namun, sekian lama ditunggu tamu tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. “Kejora, sabar....! untuk mendapatkan bunga yang mahal itu butuh perjuangan” kata Ardi temannya. Kejora tersenyum rapi, meski untuk pertemuan kali ini ia merasa gagal.
Semangat yang dimiliki Kejora untuk mengkhitbah Syamsyiah bukan maen, semangatnya seperti bilal saat mengatakan ahad kepada kaum kafirin walau diinjak dan dihantam pecutan berkali-kali, seperti Khalid bin walid ketika berperang melawan musuhnya tak gentar meski pasukan dan amunisinya berkurang. Dari semangat yang tak pernah henti itulah, keesokan harinya Kejora masih mempunyai harapan besar untuk bisa melamar Syamsyiah, pujaan hatinya. Di dalam waktu panjang menunggunya Kejora semakin tekun dalam beribadah, sholat lima waktu, dan dzikir tiap malam selalu menghiasi permadani pekat. Tak henti-hentinya memanggil namaNya, dan tak berujung sujudnya.

Calon Istri

Di pekan selanjutnya, Kejora yang masih terbakar api cinta bak gunung berapi yang meluap-luap, ia masih teguh, kokoh, ingin melamar Syamsyiah. Pikirnya tak ada yang lebih berharga di dunia ini kecuali hidup beribadah bersamanya.  Setelah itu, Kejora mempersiapkan lamaran yang ketiga kalinya, tak lupa ia sholat sunnah 2 rakaat dulu sebelum berangkat, disertai dengan do’a do’a di akhir sholatnya, mengharap ada keajaiban datang pada lamaran kali ini. Bersama temannya Ardi ia melangkahkan kakinya setapak demi setapak, diiringi dzikir di mulutnya supaya nanti ketika bertamu dan mengatakan ingin melamar Syamsyiah tidak kaku.
Sesampainya di rumah Syamsyiah, benar orang tua dan Syamsyiah ada di rumahnya, dan juga sedang tidak ada tamu di rumahnya. Kata Kejora “Alhamdulillah,,, bismillah ya Allah.” dengan mengehentakkan kakinya ke tanah 3 kali, lalu bergegas masuk ke pekarangan rumah Syamsyiah. “Assalamualaikum....” disambut salamnya oleh orang tua Syamsyiah. Ketika Kejora disuruh duduk bapak Syamsyiah bercerita, bahwa Syamsyiah sekarang tak bisa menemuinya karena terbaring sakit di kamarnya. “sudah seminggu ini Syamsyiah sakit Kejora. Bapak tak tega melihat Syamsyiah. Entah apa penyakit yang di deritanya bapak tak paham”. “Allah...” kata Kejora, mendengar cerita Bapak. Karena mendengar kondisi tersebut, Kejora lagi-lagi tak berani menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah Syamsyiah. Kejora takut, menambah beban sakitnya Syamsyiah. Akhirnya, Kejora berbincang-bincang membahas hal lain, karena bapak Syamsyiah menyukai perpolitikan, Kejora mencoba membahas tentang politik pemerintahan di negaranya, untuk sedikit menghibur bapaknya yang terkena musibah. Ketika selesai  berbincang lama, akhirnya Kejora pamit pulang dengan bapak Syamsyiah tersebut dan mengatakan “bapak, semoga Syamsyiah lekas sembuh ya... aamiin” disambut aamiin juga oleh bapak Syamsyiah. Alhasil, lamaran Kejora yang ketiga gagal.
Di malam yang pekat, Kejora beranjak dari tidurnya. Saat itulah Kejora memohon pada Allah dengan tangisan yang lirih. “Allah, aku yang menunggu janjiMu dalam sembunyi-sembunyi, aku yang mengharapkan belas kasihMu dalam dingin, dan aku yang terus-terusan menyebut namaMu. Jika akhirnya aku harus melepas Syamsyiah, tak apa. Aku akan melepasnya. Aku ikhlas dengan yang terjadi selama ini. Namun, izinkan kabulkan doaku ini, jika aku tak bisa bersamanya, buatlah ia benci kepadaku di dunia ini. Dan merindukanku di surga nanti”.
1 tahun berlalu, ia bergelut dengan perasaannya itu, dari mempersiapkan lahiriyah dan batiniyahnya itu sampai harus bersabar dalam lamaran, lamaran pertama gagal karena tak ada orang di rumahnya, lamaran kedua gagal karena banyak orang yang datang ke rumahnya, lamaran ketiga gagal karena tak tega melihat kondisi Syamsyiah terbaring sakit tak berdaya. Pada saat itulah Kejora memohon kepada Sang Pencipta Allah Azza Wajallah “Ya, Allah....” dilanjutkan dengan syairnya,
Layaknya Alif dan Hamzah,
Kita sama dalam berucap
Tapi, berbeda pandangan
dan tempat menghalangi kita untuk bersua

Layaknya hal yang wajib dan sunnah
Kita sama-sama ingin melakukannya
Tapi, kita dilarang bersamaan
dan waktu sering kali memisahkan kita

jika kita tak bisa bersua abadi
tak apa,
setidaknya kita sudah sama-sama mengenali
Kejora bukan putus asa, tapi ia ingin berhenti mengharap Syamsyiah bersanding dengannya. Dan ia mengerti satu hal di dalam tragedi itu, bahwa ketika ia jatuh cinta kepada Syamsyiah, ia merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta Allah SWT. Ia telah salah mengharapkan cinta, ia mengerti bahwa cinta tak harus memiliki, dan ia paham cinta itu hanya kepadaNya. Akhirnya, Allah pertemukan ia dengan perempuan yang lain, yang anggun nan sholehah, meski tak seperti Syamsyiah. Ia bertemu dengan Rembulan gadis yang memadamkan api cintanya kepada Syamsyiah walau itu hanya sementara. Akhirnya ia menikah dengan rembulan. Pernikahan Kejora terdengar oleh Syamsyiah, yang sebenarnya juga mencintai Kejora. Lalu, Syamsyiah mengirimkan surat kepada Kejora,
“Assalamualaikum, Kejora.....
Selamat engkau telah menemukan cintamu. Aku tahu selama ini yang kau lakukan di belakangku. Aku mendengar cerita banyak dari sahabatmu, Ardi. Aku hanya ingin engkau tau, Aku diam bukan tak berani mengatakan rindu. Aku diam itu berarti menunggumu, menunggu dirimu yang selama ini tak kunjung melamarku. Bersama surat ini, ku kembalikan Al-Quranmu. Dan jangan pernah bertemu denganku.
Semoga engkau bahagia dengannya.......
Syamsyiah
            Membaca surat itu,  hati Kejora luluh lantah. Ibarat bangunan yang tersusun rapi terkena bom hiroshima. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kini, Kejora tak bisa berbuat apa-apa, karena telah ada Rembulan. Hanya Ardi dan Allah yang mengetahui cinta mereka berdua yang tak pernah sampai. “sesungguhnya rasa itu masih ada, semoga engkau juga mendapatkan yang lebih baik denganku. Semakin aku jauh darimu semakit dekat aku denganNya” akhirnya kejora menyadari bahwa cinta pada hakikatnya dapat mendekatkan dirinya pada Rabbnya. Hikmah di balik rindu adalah meningkatnya ketaqwaan Kejora yang dulunya acuh dalam beribadah.


0 Response to "Cerpen Rindu"

Post a Comment