Kejora dan Rembulan

Kejora dan Rembulan

Sabtu, 30 Juli 2016
Irel Mallabi


“Kejora telah lama pergi semenjak aku menjauh darinya” kata Syamsiyah yang mengasah pisau di tangannya sambil lalu memotong bawang. Senda gurau bersama temannya mengalihkan pembicaraan Syamsiyah dengan seorang tabib, yang sedang menanyai kabar Kejora. Tak dihiraukan pertanyaan tabib itu oleh Syamsiyah. Namun ia jawab seakannya “Maaf Kejora memang hilang dari pandanganmu, tapi ia masih ada dalam pandanganku”, “Cukup ya...!” Syamsiyah menyuruh sang tabib berhenti menanyainya tentang Kejora.
Selepas itu, sang tabib keluar dari dapur dengan wajah kusut. Disambut sautan dari seseorang di ruang tamu “bagaimana tabib?” kata bapak Syamsiyah. Sang tabib hanya tertunduk dan tak berdaya seraya berkata “Syamsiyah sudah tak bisa disembuhkan pak. Sewaktu saya mengobrol dengan Syamsiyah, Syamsiyah menanggapi pertanyaan saya dengan baik. Namun, dia membisikkan kepada saya, ‘tabib tak kan bisa memisahkan saya dengannya, ia sudah menyatu dengan tubuh ini’.” Kaki sang bapak gemetar mendengar kata-kata anaknya dari sang tabib. Selang beberapa menit sang  bapak memanggil Syamsiyah, “Syamsyiah..... kemari nak!”. Tak sampai tubuh Syamsiyah pada tempat bapaknya memanggil ia berkata “Pak, jangan pisahkan saya dengan Kejora, ia sudah menyatu dalam tubuhku. Aku sedang hamil bapak....” teriak Syamsiyah pada ayahnya. “apa yang kau maksud? Kau bersetubuh dengannya? Kau pernah berzina ya Syamsyiah......?” kata sang bapak dengan suara lebih lantang. “kau tak kan mengerti bapakku, aku tak pernah berzina. Aku ini layaknya Siti Maryam. Namun, ruh yang masuk dalam diriku ini bukan seorang anak lagi, tapi ia adalah Kejora. Ruh ini tak berada di dalam rahimku, tapi lubuk hati ini”. Tambah gelisah sang bapak, mendengar jawaban dari sang anak yang tak dipahaminya.
Setahun berlalu, sang bapak terus menerus mencari cara agar anaknya dapat melupakan Kejora. Tabib dalam kota dan luar kota pun sudah didatanginya, sampai ke pelosok negeri iya cari, namun tetap selalu gagal. Telinga ke telinga terdengar, derita yang dialami Syamsiyah sampai ke penjuru negeri. Hingga akhirnya, sang bapak pergi ke klinik psikolog di Turki, yang terkenal dapat menyembuhkan orang yang dimabuk cinta. Bahkan, tidak hanya menyembuhkan, tapi dapat memberikan cinta yang baru pada si pasien. Selidik punya selidik, nama sang Psikolog adalah Qais, psikolog nomor satu di Turki. Disinilah, bapaknya menceritakan kisahnya kepada Qais mengenai penderitaan yang dialami anaknya.
Berceritalah ia kepada sang Psikolog tersebut mengenai kejadian anaknya itu. Ia memulai cerita tersebut dengan menceritaan asal-usul kejora, yang menjadi permasalahan di jiwa Syamsyiah saat itu. Kejora adalah anak dari pedagang sayur, hidupnya disertai dengan duka dan derita. Di usianya yang sudah mencapai 5 tahun, Kejora telah ditinggal oleh ayahnya. Karena sang ayah terkena penyakit jantung. Oleh sebab itulah, Kejora banting tulang sejak kecil membantu ibunya untuk mencari sesuap nasi. Dari mulai mengangkut barang-barang belanjaan di pasar, sampai menjadi penjaga kebun orang. Hidup seperti itu tak menyulutkan niat Kejora untuk tidak selalu berada dalam ketergantungan, dan serba kekurangan. Kejora seringkali bercerita kepada ibunya, bahwa ketika ia sudah dewasa nanti ia ingin menjadi seorang yang berjaz. Yah, begitulah mimpi dari orang yang terasingkan oleh ekomoni. Tak terlalu bermuluk-muluk, yang dimaksud mimpi Kejora yang memakai jaz itu adalah pelayan hotel. “bu, aku ingin menjadi seperti mereka” kata Kejora seraya menunjukkan kepada ibunya para pelayan hotel yang sedang melayani tamunya di depan pintu gerbang. “Nak, bangga ibu kalau kamu bisa jadi seperti mereka” sahut sang ibu. Dengan mata yang berkaca-kaca mendengar sang ibu berkata seperti itu, kejora kecil berhenti, dan menatap ke wajah ibunya dengan penuh serius lalu berkata “bu, 10 tahun lagi aku akan seperti mereka, nanti ibu aku ajak keluar masuk di gedung bertingkat itu”. Sang ibu hanya mengelus kepala Kejora.
10 tahun berlalu, Kejora kecil telah tumbuh menjadi dewasa, tangguh, dan tampan. Seperti apa yang Kejora cita-citakan semasa kecil, yaitu menjadi orang yang berjaz. Akhirnya mimpi itu terkabulkan. Kejora kecil kini menjadi seorang yang berjaz, yaitu pelayan hotel. Ketika 2 minggu berlalu dengan seragam hotel itu, Kejora sering mengajak keluar masuk ibunya ke dalam hotel tersebut, seperti yang dijanjikan saat waktu kecil. “ibu, apakah engkau senang?” tanyanya Kejora pada ibu yang sudah berkaca-kaca matanya, dan seraya tersenyum kepadanya. Ketika itu, dalam pikiran Kejora, tercapailah tujuan hidupnya membahagiakan orang tuanya. “kalau saja Engkau mengambilku saat ini, seperti kau mengambil ayah, aku rela. Karena aku sudah membahagiakan ibuku. Aku sudah cukup hidup di dunia ini” berbisik lirih dalam hati Kejora merasakan bahwa cita-citanya telah tercapai.
Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Tibalah saat-saat pertemuan Kejora dengan Syamsiyah. Pertemuan yang sekejap, namun memberi makna bagi sepasang insan tersebut. Kejora yang dulunya hanya memiliki satu impian membahagiakan orang tuanya kini bertambah keinginannya yaitu ingin menikah dengan perempuan yang temuinya di hotel tersebut. Ibarat bertemu dengan bidaddari, lama sekali Kejora memandang perempuan itu sampai lupa di sampingnya telah ada tamu yang datang lagi ke hotel tersebut. Tak lama berselang, Kejora pun bangkit dari tempatnya dan mendatangi perempuan itu. Dan al-hasil di pertemuan pertama itu telah membawa sepasang insan itu menjadi sangat dekat.
Setiap hari Syamsiyah dan Kejora bertemu, mereka sudah dimabuk asmara sampai-sampai tak menghiarukan siapa diri Kejora dan siapa diri Syamsiyah sebenarnya. Syamsiyah adalah anak dari pemilik hotel tersebut yang kaya raya. Bak pasir yang digenggam, sampai-sampai tak dapat dihitung kekayaan dari orang tua Syamsiyah. Namun, perbedaan tersebut tak menghalangi percintaan antara keduanya. Kejora memahami, bahwa dunia ini bukanlah sebagai penghalang, dan Syamsiyah juga sadar bahwa dirinya tak ingin berharap pada kemewahan. Perjalanan cinta keduanya masih terbilang sangat belia, jadi tak dapat dipungkiri api cinta pada keduanya masih berkobar-kobar. Hingga sampai terdengar percintaan keduanya itu oleh semua karyawan hotel.

Sekian bulan lamanya Kejora dan Syamsiyah merajut cintanya itu. Namun, tak lama berselang, sang bapak pun mengetahui percintaan anaknya dengan pelayan hotel tersebut. Bapak Syamsiyah marah besar, tak sudi mendengar anaknya jatuh cinta kepada seorang pelayan hotelnya. Akhirnya sang bapak datang menemui pelayan hotel tersebut. Ketika sampai di rumah anak tersebut, bapak Syamsiyah yang kaya raya itu langsung memecat Kejora. Sontak, hal itu membuat terkejut Kejora. Namun, pada saat itu kejora tak mengerti apapun, mengapa bosnya memecat dengan tanpa alasan. Kejora bimbang, dan bingung mendengar berita tersebut. Tapi, hal tersebut tak dapat menggoyahkan Kejora yang senang bermimpi itu. “Impianku sekarang bukan jadi orang yang berjaz, Impianku sekarang adalah bersanding dengan Syamsiyah” kata Kejora yang tak patah semangat.
Hari berganti hari, saat itu Kejora sudah tak masuk kerja lagi. Kejora hanya tinggal di rumah saja dan makan seadanya, dengan hasil uang tabungannya saat bekerja. Sedih bukan maen hati Kejora, terlunta-lunta, tersiksa jiwanya. Tersiksa bukan karena tak miliki uang gaji lagi, tapi tesiksa karena tak bertemu lagi dengan Syamsiyah. Pikiran Kejora mulai kacau, hilang asa, kaki gemetar, tidur tak nyaman, tiap malam berteriak jiwanya kepada Sang punyai Malam. Riuh, bergemuruh raganya.
Suatu hari, akhirnya, Kejora memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan menemui Syamsiyah di hotel tersebut. Ketika sampai di hotel tersebut Kejora dihadang oleh bodyguard yang tubuhnya tinggi dan kekar. Kejora tambah bingung, bertanya-tanya, ada apa di balik semua ini. Kejora yang sudah dimabuk arak cinta itu melawan kepada pengawal itu. Hingga akhirnya datanglah bosnya itu ke depan hotel. “Kamu tahu, mengapa engkau tak kuperbolehkan masuk di hotel ini” kata bosnya itu. Kejora hanya menggeleng-gelengkan dan menundukkan kepalanya. Lalu, bos tersebut menceritakan siapa dirinya dan siapa Syamsiyah itu. Ketika selesai mendengar cerita itu, sontak membuat terkejut Kejora, bahwa perlakuan bosnya itu selama ini adalah ingin memisahkan dirinya dengan Syamsiyah. Karena diri Kejora yang miskin tak pantas bersanding dengan anak yang kaya raya itu. “Apakah ketika aku menjadi orang kaya engkau akan menerimaku dan engkau akan memberikan Syamsiyah padaku?” tanyanya dengan suara lirih kepada bos tersebut. Sang bos hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Dan semenjak itulah keinginan bapak Syamsiyah menjadi keinginan  Kejora, menjadi orang kaya untuk bersanding dengan Syamsiyah. Pada saat itu pun Kejora mengirimkan pesan kepada orang tua Syamsiyah dan anaknya, untuk menunggu kedatangannya yang akan menjadi kaya raya itu.
Sekian lama, Kejora berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkan harta yang melimpah, dari menjadi tukang bangunan, sampai menjadi arsitek ternama di negaranya. Namun, tetap saja tak ada pengaruhnya. Kejora tetap saja tak bisa memenuhi keinginan orang tua Syamsiyah itu. Orang tua Syamsiyah sangatlah kaya raya, tak ada yang dapat menandingi kekayaan orang tua Syamsiyah di negaranya itu. Jadilah, percuma usahanya Kejora selama ini.
Setahun berlalu, Syamsiyah masih menunggu dalam penjara bapaknya. Setiap hari, hati Syamsiyah tersiksa, tak henti-hentinya meneteskan air mata seraya bersenandung “Asalnya kita dari yang Esa, kembali kapada yang Esa. Suatu saat kita kan menyatu melalui yang Esa”

Di peraduan malang ini,
Derai hujan bersenda pada lempung
Ada sebagian yang dibiarkan mengalir pada bebatuan
Dan sebagian lagi menggenang di padang sahara
gemiricik suaranya
namun hilang sapanya disapu angin

manunggal denganNya
saat melihatmu

Rabb
biarkan tangan ini menengadah
biarkan sujud ini abadiah
sisakan padanya ruang maab bersama ruh ini
Begitu malangnya hati Syamsiyah pada saat itu. Tak mampu ia bendung lagi perasaannya. Kesatuan dirinya dengan Kejora bukan lagi untuk di dunia ini, tapi melainkan di sana nanti. Karena seringnya Syamsiyah menangis di dalam sujudnya. Akhirnya mata Syamsiyah pun mulai buram, sampai-sampai tak dapat melihat lagi.
“Allah... trimakasih Engkau telah butakan mata ini.
Asalkan Engkau tak butakan hati ini.
Allah... rencanaMu indah,
Aku yakin, engkau ingin membuat cintaku abadi.
dari ini aku tak kan bisa melihat lelaki lain”
            Sang bapak pun mulai bingung, kasihan dan menyesal pada perbuatannya, ketika melihat kondisi anaknya seperti itu. Melihat kondisi tersebut, sang bapak lalu mengadakan sayembara untuk mendatangkan Kejora. Nama dan gambar kejora ditempel di seluruh negeri. Hingga sampailah Kejora pada bosnya itu, tentu dalam kondisi yang terbilang masih miskin. Sang bapak tak mau tau lagi, yang penting anaknya bisa bahagia. Akhirnya, bapaknya mengatakan kepada Kejora untuk segera menikahi anaknya. Namun, Kejora yang tetap berpendirian teguh itu menolak tawaran bapak Syamsiyah itu, meski ia tau ia sangat menginginkan hal itu. “Pantang ludah ini kuhisap lagi. Janji tetaplah janji.” Kejora tak ingin melanggar janjinya yang dulu, ia akan menikahi Syamsiyah dalam keadaan kaya. Bapak Syamsiyah yang mendengar hal itu, terkejut dan mengusir Kejora dari rumahnya.
            Setelah kejadian itu, bapak Syamsiyah mulai kebingungan. Tak mungkin sang bapak menjodohkan anaknya yang buta itu kepada lelaki lain. Akhirnya, sang bapak kaya raya itu mengadakan sayembara untuk menyembuhkan buta anaknya. Al-hasil, tidak ada yang bisa menyembuhkannya, kecuali ada orang yang medonorkan matanya.
            Karena tak ada cara lain selain donor mata. Syamsiyah dan bapaknya memutuskan untuk pindah ke suatu tempat, dimana tidak ada orang yang mengenalinya dan mengubah nama Syamsiyah. Di tempat baru itu lah, sang bapak mengadakan sayembara lagi, barang siapa yang ingin mendonorkan mata untuk anaknya akan diberikan separuh kekayaannya pada pendonor tersebut.
            Bulan berganti bulan, tetap tak ada orang yang datang dan merespon sayembara itu. Hingga sampai sayembara itu ketelinga Kejora. Kejora yang masih tetap dalam pendiriannya tak mau berpikir panjang. Kejora berfikir dengan mengikuti sayembara itu, kejora dapat menjadi orang kaya seperti yang orang tua Syamsyiah katakan padanya dulu. Hanya dengan cara inilah Kejora dapat menjadi kaya. Pada saat itu pun Kejora langsung mendaftarkan diri ke petugas sayembara yang diadakan bapak Syamsyiah itu. Hingga selesai pendonoran, setengah harta kekayaan bapak itu telah dikasihkan ke Kejora. Namun, meski ia sudah kaya, Kejora sekarang menjadi buta. Tapi, secara tidak sadar Kejora telah memberikan matanya itu kepada kekasihnya Syamsiyah. Sehingga, Syamsiyah sudah dapat melihat lagi.
            Dan sampailah di suatu hari, Kejora pergi untuk menemui orang tua Syamsiyah, dengan niatan untuk melamar anaknya. Sesampainya di rumah Syamsiyah, yang telah pindah tempat itu. Kejora yang sudah kaya raya, bersama dengan pengawalnya langsung memasuki ruang tamu. Berbincang-bincang dengan bapak Syamsiyah bahwa ia ingin melamar anaknya. Karena ia sudah pantas dan sudah menepati janjinya menjadi orang kaya. Namun, harapan Kejora salah bahwa bapaknya akan menerima ketika telah menjadi orang kaya, ternyata bapak Syamsiyah malah menolaknya. Alasan bapak Syamsiyah yaitu tak mungkin anakku enggan menikahimu dalam keadaan buta seperti ini, meskipun engkau sudah kaya.
            Setelah itu, Kejora berkata pada bapak Syamsiyah “Pak, mungkin menurutmu aku sudah tak pantas lagi untuk anakmu, perlu engkau ketahui, aku sesungguhnya telah menyatu dengan anakmu. Cintaku pada Syamsyiah layaknya pasir di pinggir pantai. Meski kau menulis kata TIDAK pada pasir itu, ombak-ombak kasihku akan menghapusnya. Karena aku hakikatnya telah dimilikinya, dan aku telah memilikinya. Karena aku selalu bersamanya”. Kejora pun pergi dari rumah Syamsiyah itu.
Mendengar perkataan dari Kejora, bapak Syamsiyah bertanya-tanya, apa yang dimaksud pemuda itu dan mengapa bisa pemuda miskin itu kaya raya seperti aku. Lalu, orang tua Syamsiyah bertanya pada pengawalnya. Ketika itu, dijawablah oleh pengawal tersebut, bahwa yang mendonorkan mata kepada anaknya adalah Kejora. Oleh sebab itu ia menjadi kaya raya. Mendengar jawaban pengawal tersebut bapak itu merenung jauh, menjadikan dirinya di posisi pemuda itu. Melihat bagaimana besarnya pengorbanan pemuda itu.
            Namun, nasi sudah menjadi bubur, Kejora telah pergi. Terdengar kabar setelah sebulan ia diusir dari rumah bapak Syamsyiah itu, bahwa Kejora telah menikah dengan gadis buta yang bernama Rembulan. Dengan dalam keadaan yang buta jua, Kejora menikahi orang yang sama-sama buta.
            Sedangkan Syamsyiah dalam kondisinya tersebut, masih tetap bertahan sendiri, dan menunggu datangnya Kejora, mengharap pangerannya menjemput dirinya. Melihat kondisi Syamsiah tersebut bapak itu menceritakan pertemuannya dengan Kejora dan menceritakan kabar menikahnya Kejora dengan Rembulan. Berharap ketika selesai menceritakan, anak semata wayangnya itu tak lagi menunggu dan memikirkan pemuda itu lagi.
            Namun, cinta tetaplah cinta, tak dapat tergantikan oleh siapapun. Mendengar cerita dari sang bapak, Syamsyiah tersenyum, tersenyum karena sesungguhnya Allah telah menyatukan Kejora dalam dirinya di dunia. Tiap malam, ia lantunkan do’a untuk Kejora, agar kelak Allah mempertemukan dan menyatukannya di dalam surga.

            Setelah bapak itu selesai bercerita, Qais tersenyum, lalu bapak itu menangis. Bapak itu mulai sadar, ternyata selama ini bukan anaknya yang sedang sakit, tapi dirinya, dirinya telah merampas kebahagiaan mereka berdua. Dan pada akhirnya sang Bapak itu mendatangi Syamsyiah dan meminta maaf. Sambil meneteskan air mata “ Bapak, Tak perlu minta maaf padaku. Aku selama ini bahagia. Karenamu aku dapat memilikinya, menyatu dengannya. Aku memandangi dunia ini bersamanya. Biarkanlah mata ini menjadi saksi. Akan ku bawa ibadah mata ini.”

0 Response to "Kejora dan Rembulan"

Post a Comment