Celoteh Manusia Bertopeng
Saat ini, Seperti danau tibarias jiwaku pupus oleh asamu. Tak ada bunga bulan ini, tak ada bunga bulan depan cukup Bunga november berikan segudang tanda titik pada titik di sari jantungku, cukuplah Bunga november berikan tanda tanya besar, Mengapa aku sebodoh ini. Berhenti berjalan, berhenti mengutarakan. Aku termarjinalkan oleh jawabannya, kini hanya tinggal kenang dan mengenang. Aku diburu dan dicambuk oleh rasaku, seolah aku menyesal berkali-kali lipat. Aku tak tau berapa lama aku sanggup bertahan tanpa Bunga november atau kucari bunga-bunga di purnama yang baru? Tapi, rasanya ku sudah mencobanya, dan Aku salah, aku kira ia akan dapat menggantikannya di sari jantungku. Namun, kenyataanya hatiku resah dan gundah, Seolah berkata, “ini bukan yang ku mau, persetan dengan kata cinta tak harus memiliki” Namun, ku coba ikhlas se ikhlas ikhlasnya mencoba bertahan dengan bunga purnama yang baru.*edisi hati menggerutu.
Lalu, ku coba hadir di tengah-tengah
kumpulan manusia bertopeng, mencari kebahagiaan di sana dan benar, ia
menegurku. “Nak. . . lagi apa di sini?” mataku berkedip 3 kali lalu menjawab
pertanyaan manusia bertopeng itu “saya di sini lagi merenung, merenungi nasib
saya pak. Saya kehilangan bunga saya kemarin”. “Hemm” responnya.
“nak, kau tau daun itu?” ia
menunjukkan rimbunan daun di atas kepalaku.
“nak, ketika daun itu gugur di udara,
ia rela dihembus angin. Ketika ia gugur di air, ia rela terbawa arus sungai,
dan ketika ia gugur di tanah, ia rela terkubur bersama debu. Pernahkah kau
lihat ia menolaknya?”
Aku menggeleng gelengkan kepala lalu
terdiam, ia melinting tembakau dengan irama hembusan angin. Lalu ia menunjukkan
sesuatu kepadaku...
“Nak, kau lihat mentari itu...!”
sambil ia menyulutkan api ke linting tembakau itu.
Lanjutnya, pada hisapan pertamanya...
“Nak, tak bisa dipungkiri bumi ini bisa hidup karena mentari. Tapi perlu kau
tahu nak, tak mungkin ia menyinari bumi terus menerus 24 jam. Adakalanya kita
memerlukan bulan saat malam untuk melupakan kejadian di siang hari. Namun
ketika malam tiba, kita jangan lupa, bahwa cahaya bulan sesungguhnya dari
mentari. Biarkan mentari mengingat engkau sebagai orang yang mengaharapkan
kehangatannya. Tak apa....”
Aku dengan khusuk mendengarkan
celotehan bapak tua itu. Dengan berpakaian baju lusuh, ia mencoba menghiburku.
Dengan kepulan asap yang terus menyembur ke arahku. Sedikit batinku terhibur
dan menyadarkan hatiku yang selalu menggerutu, putus asa, dan tidak terima
dengan kenyataan. Selepas mendengar celoteh itu, aku pamit kepada bapak tua dan
beranjak dari tempat duduk itu.
“pak, besok saya ke sini lagi”
jawabku dengan senyum sumringah.
“he’em” jawabnya dengan kondisi
memamah selinting rokok.
Keesokan hari, aku datang lagi kepada bapak bertopeng itu. Namun, ia sudah tak lagi di tempat itu. Ia meninggalkan surat di tempat itu, dan menyeruku untuk ke depan gedung tinggi itu. Aku diberikan kartu namanya, “kalau kau ingin menemuiku, pergilah ke gedung depan taman ini, dan tunjukkan identitasku kepada orang di gedung itu”. Aku membaca identitias tersebut, tertulis namanya adalah suyanto owner perusahaan ternama dan terbesar di daerahku. Aku terkejut membaca identitas tersebut. Seolah tak percaya, bahwa yang kutemui kemarin memakai pakaian lusuh, seperti preman, ternyata ia adalah pemilik perushaan terbesar di daerahku. karena penasaran, ku beranikan diri untuk masuk ke gedung itu lalu ku serahkan kartu nama dan surat itu kepada karyawan di sana agar aku diantarkan ke tempat bapak itu.
Sesampainya
aku di kantor itu, ia menyapaku dengan senyuman, dan menyuruhku untuk duduk di
kursi empuknya itu. Aku juga membalasnya dengan senyuman pula, dan tak henti
hentinya mataku berkeliaran melihat ruangan itu. Ruangan dengan fasillitas yang
lengkap.
Ia memegang
pundakku, dan menanyakan kabarku. Ku jawab masih sedikit tersiksa batinku,
kehilangan bunga yang di petik bulan lalu oleh teman sejawatku. Mendengar
celotehku kepadanya, ia pun angkat bicara, dan menceritakan kehidupannya
padaku. Seperti biasa ku lihat, ia tetap istiqomah bercerita sambil menghisap
selinting rokok. Tak tau sudah hisapan yang ke berapa, tapi melihat linting
rokok itu masih panjang, mungkin masih hisapan kedua.
Lanjutnya di
hisapan yang ke dua “Nak, aku pernah ada di posisimu.Tapi, karna kutau cinta
itu tak harus memiliki, aku tak memaksanya menjadi tulang rusukku. Tapi, perlu
kau tau selamanya, hanya mentari yang dapat menyinari bumi. Jika pun ada bulan,
itu hanya sebuah ilusi untuk menggantikannya sesaat dalam ketiadaannya. Namun,
ketika saatnya tiba aku ingin abadi bersamanya.”
“Nak, kita
harus belajar pada dunia ini, bahwa langit dicipta bukan untuk memiliki bumi.
Ia dicipta untuk melindungi bumi. Dan, kita harus memahami, bahwa kita tak
mungkin mampu miliki cahaya mentari itu. Tubuh kita akan kepanasan, memerah,
bahkan mengelupas. Dan lihatlah bulan itu nak, ia akan tetap setia berada di
malam-malammu, bercahaya atau tidak bercahaya, ia akan tetap ada bersamamu. Dan
tak pernah pergi darimu. Dan mungkin, kau masih sanggup dengan cahaya bulan,
bukan matahari.”
“Hemm”
jawabku, seraya mengambil nafas dalam dalam dan melebarkan senyum dengan manis,
tapi memiliki kepedihan yang luar biasa.
Aku sadar,
apa yang dikata bapak itu benar. Aku tersenyum, dan berfikir aku harus mencari
bulan yang setia padaku, bukan seperti mentari yang selama ini ku harapkan
cahayanya. Namun, sesungguhnya aku tak mampu memilikinya. Sehingga, jadinya Aku
ibarat pungguk merindukan mentari. Aku harus meniru bapak itu, aku harus mampu
menjadi manusia bertopeng, seperti bapak tua itu. Menyimpan segala keresahan dengan
menyibukkan diri, mencoba tersenyum pada malam, dan mencoba berdrama pada siang
dan petang. Seolah-olah kejadian di pagi dan siang hari
tak ada.
Dan, hanya mengingat petang dan malam .
Dan akulah daun......
0 Response to "Celoteh Manusia Bertopeng"
Post a Comment