Pengalaman Pribadi Tunangan di Era Millenial
![]() |
Gambar Cincin Tunangan |
Menjadi asing di tanah sendiri yang beradab
Orang bilang tunangan di Era Millenial tidaklah sama dengan tunangan zaman dulu yang terkesan monoton dan terlihat apatis pada percintaan. Karena tak sedikit, orang dulu dijodohkan ketimbang memilih pasangannya sendiri. Suka tidak suka, ya harus diterima.
Di Era Millenial hari ini, tunangan sudah mengalami perkembangan pesat (katanya), tidak lagi terlihat monoton, apalagi apatis terhadap percintaan. Orang-orang lebih bebas memilih siapa orang yang akan menjadi pasangan hidupnya nanti. Sehingga, tak ubahnya seperti menyewa barang, jika cocok yang dibeli, jika tidak ya selamat tinggal dan mencari barang lain yang mereka ingini. Di samping itu, tentunya jodoh itu karena Tuhan yang telah menakdirkan.
Namun, esensi tunangan di Era Millenial telah hilang. Mengapa begitu? karena keseriusan dalam berkeluarga kandas di jalan pertunangan. Tidak sampai berumah tangga, sudah putus duluan. Hal itulah yang menjadi sisi negatif tunangan di era millenial seperti sekarang ini. Tidak seperti tunangan zaman dulu yang adem ayem sampai berumah tangga.
Pengalaman Pribadi
Saya adalah mahasiswa semester 5 Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, saat ini saya sudah bekerja menjadi guru di salah satu lembaga swasta di Probolinggo. Pengalaman saya ketika bertunangan ini merupakan pengalaman pertama saya dan semoga ini menjadi pengalaman terakhir untuk saya.
Saya bertunangan sudah 2 tahun yang lalu, sejak tahun 2016 yang lalu. Awal saya mengenal dengan tunangan saya adalah ketika saya aktif di sebuah organisasi internal di kampus. Ketika itu, saya diamanahi menjadi ketua umum pada tahun 2015-2016. Di waktu itulah saya mulai mengenal calon tunangan saya.
Awal saya melamarnya, saya melamar lewat kakak tingkat atau senior saya di organisasi tersebut. Karena saya berfikir saya harus berkeluarga beberapa tahun lagi. Ketika itu, beliau sesuai dengan kriteria saya. Akhirnya, kakak tingkat atau senior saya menyampaikan kepada orangnya. Pada saat disampaikan, beliau terkejut. Perihalnya, beliau waktu itu masih baru aktif di organisasi, dan belum kefikiran menjalani hubungan yang serius. Beliau merasa belum siap berhubungan dan merencanakan untuk berkeluarga.
Dengan begitu, beliau merasa, niatan baik ini harus disampaikan kepada orang tuanya sebagai pertimbangan olehnya. Selain orang tua beliau juga meminta pertimbangan kepada para ustadz dan ustadzahnya. Tentu pertimbangan tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama. Memang tidaklah mudah menunggu lama keputusan itu, tapi harus saya terima. Karena ini memang bukan perkara maen-maen. Ini menyangkut kehidupan keluarganya nanti.
Sebulan lebih 10 hari akhirnya tunangan saya memberikan keputusannya. Pas dengan waktu wisuda saya. Jawabannya adalah iya, beliau menerima saya, dengan syarat saya harus siap menunggunya selama 3-4 tahun. Saya iyakan persyaratannya. Akhirnya pada waktu itupun beliau bertemu dengan orang tua saya.
Awalnya saya hanya ingin berkomitmen saja. Sesuai dengan perkaataannya di awal. Saya akan menunggu beberapa tahun lagi baru akan menemui orang tuanya. Namun, orang tua saya berkata lain, katanya tunangan saja, biar terlihat serius. Biar tidak maen-maen katanya. Ya, akhirnya saya iyakan saja semua perkataan orang tua. Toh, saya berkomitmen juga ingin serius.
Tidak sadar dengan perkataan saya bahwa saya lupa dengan tradisi tunangan yang ada di rumah. Dimana orang yang bertunangan akan lebih sering berduaan daripada sendirian. Setiap setahun sekali, pas lebaran. Orang yang bertunangan berboncengan berduaan untuk pergi ke rumah sanak saudaranya. Memperkenalkan calon yang bakal jadi istrinya nanti.
Tentu, hal itu membuat saya sedikit kecewa. Karena saya harus berdebat dengan orang tua dan sanak saudara tentang masalah itu. Bahwa saya tidak ingin berboncengan apalagi berdua-duaan dengannya. Karena saya menganggap berdua-duaan dengan lawan jenis itu dosa. Selain itu beliau adalah bukan istri saya. Beliau hanya sekedar calon saya, yang nantinya bisa jadi bisa tidak.
Sebagai laki-laki saya ingin tidak menyentuh sedikitpun pakaiannya, agar terjaga dirinya. Sehingga, jika beliau tidak dengan saya nantinya. Suaminya kelak bisa bangga kepadanya, karena tidak ada laki-laki yang menyentuh selain orang tuanya. Begitupun saya, yang tidak ingin memiliki istri yang sudah disentuh oleh laki-laki selain orang tuanya.
Pada waktu itu, saya benar-benar menjaga komunikasi dengannya. Berkomunikasi hanya via telfon, itu pun dulu disambungkan 3 dengan kakak tingkat saya. Karena ada hal yang penting yang harus saya sampaikan padanya. Selain itu saya tidak berani komunikasi. SMS pun saya lewat kakak tingkat saya, seperti orang tua saya mau ke rumahnya, atau orang tua beliau mau ke rumah. Berkomunikasi hanya lewa perantara.
6 bulan saya berkomunikasi dengan cara itu, kata orang saya aneh. Karena sudah bertunangan masih saja takut berkomunikasi. Apalagi pertemuan. Selama 2 tahun ini pertemuan saya dengan beliau bisa dihitung jari, antara 6-8 pertemuan. di antaranya tidak ada pertemuan yang berdua-duaan. Semua pertemuan pasti membawa teman atau sanak saudara. Dan ketika bertemu pun saya tidak berani saling memandang, hanya sepintas saja, memastikan, orangnya masih ada di depan saya atau sudah pergi (hehehe).
Selama 1 tahun saya berkomunikasi dan bertemu dengan cara yang sama. Saya pun mulai banyak dapat kritikan. Baik dari keluarga, tetangga, maupun teman saya.
"Wah kamu itu terlalu kaku, tunangan seperti itu tidak baik",
dan ada lagi kata-kata seperti ini "Menjaga hubungan sesuai syariat boleh-boleh saja, tapi jangan terlalu kearab-araban",
ada lagi "kalau kau terus terusan seperti itu komunikasinya, bisa jadi kamu dan tunanganmu tidak saling mencintai, bisa jadi tunanganmu mencintai orang lain",
ada pertanyaan juga "tapi kalian berdua serius tunangan kan?"
ada pertanyaan lagi "kamu bener suka sama tunanganmu?"
Pertama kali mendengar perkataan itu saya merasa aneh sendiri. Apa mungkin saya telah memasuki terlalu jauh dunia millenial. Sehingga, saya mengalami kemunduran dalam berhubungan(hehehe). Padahal saya dulu dikenal biasa-biasa saja. Tidak kearab-araban, tidak syar'i, boncengan sama cewek ya biasa. Yah, bisa jadi orang-orang benar, saya mengalami kemunduran zaman. Tidak seharusnya saya melakukan itu sekarang.
Tapi, memang benar adanya, kritikan itu datang bertubi tubi. Sehingga, membuat saya merasa penuh dengan kritikan. Capek mendengar kritikan. Namun, saya tidak ingin mengikuti perkataan mereka. Dan akhirnya, saya memilih mengajaknya menikah. Karena tidak hanya kritikan saja yang masuk. Tetapi tawaran untuk menikahi gadis lain, yang sudah siap menikah.
Alangkah tertekannya hati ini. Kritik, saran dan masukan telah menjadi satu, menggumpal di relung hati yang terdalam. Mencoba acuh dengannya tapi tidak bisa. Karena setiap kali diacuhkan, pasti datang lagi. Disamping itu, saya masih tetap yakin terhadap tunangan saya, dialah yang akan menjadi ibu dari anak-anak saya nanti, yang akan menjadi madrasatul ula bagi anak-anak saya. Meskipun terkadang saya tidak bisa munafik, dengan banyaknya hasutan kepada saya, saya terkadang membenarkan hasutan-hasutan tersebut.
Berat bagi saya, dengan kondisi sendirian, dan membutuhkan teman hidup, karena telah stress kuliah dan bekerja. Harusnya saat itu saya sudah menikah. Karena terpikir matang secara mental dan finansial. Namun saya tetap percaya bahwa ini sebenarnya adalah ujian. Saya bertunangan karena saya ingin serius dengannya, karena saya ingin menikahinya kelak.
Semoga pertunangan ini berkah sampai ke pernikahan. aamiin...
Itulah pengalaman pribadi saya bertunangan di era millenial. Dimana saya telah menjadi asing di tanah sendiri yang beradab. Dan orang bilang "aneh".
Seru juga kisahnya,
ReplyDeletedapat memberi saya motivasi untuk menjadi lelaki yang bertanggung jawab.
Trimakasih banyak pak.
DeleteSemoga bermanfaat... 😊🙇